Kamis, 22 Januari 2009

Punahnya Moyet dan Orang Utan Indonesia

Nasib Monyet dan Orangutan Kian Mengenaskan

Setyo Raharjo - 22 May 2008

Akhir-akhir ini, nasib beberapa primata di Indonesia menjadi perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa lembaga yang bergerak di bidang pelestarian primata (khususnya monyet dan orang utan) ini menyebar-luaskan atau mengkampanyekan masalah ancaman terhadap jenis primata tersebut dengan berbagai cara. Salah satunya yang dilakukan oleh Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan – Jakarta, dengan mengadakan Kuliah Primata (KP). Kegiatan yang diadakan pada Minggu terakhir bulan April yang lalu mengambil tema Konservasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis ). Dari kegiatan tersebut diketahui bahwa jenis monyet ekor panjang di Indonesia terdiri dari lima jenis, yaitu: Macaca fascicularis fascicularis (monyet ekor panjang); Macaca fascicularis fusca (monyet simeulue); Macaca fascicularis karimondjawae (monyet kemujan); Macaca fascicularis lasiae (monyet lasia) dan Macaca fascicularis tua (monyet maratua) (Tatang Mitra Setia, April 2008)

Hidup monyet jenis ini umumnya berkelompok dalam jumlah besar, terdiri dari 20-60 ekor untuk satu kelompok. Mereka dapat ditemukan mulai dari hutan tepi pantai hingga ketinggian mencapai lebih kurang 2000 meter di atas permukaan laut. Monyet ekor panjang merupakan satwa primata yang cukup adaptif, yang dengan cepat dapat menyesuaikan diri dengan habitat yang ditinggali. Namun yang menjadi permasalahan bagi kelangsungan hidup monyet jenis ini adalah habitatnya yang semakin berkurang, perburuan liar untuk dikonsumsi, atau bahkan dijadikan topeng monyet. Hal ini dapat terjadi karena belum adanya UU Konservasi di Indonesia yang mengatur tentang perlindungan primata jenis ini di alam. Monyet ekor panjang termasuk primata yang cukup agresif, sehingga terkadang ketika habitatnya habis, monyet-monyet ini akan menyerang ke pemukiman penduduk untuk mencari makanan. Di Suaka Margasatwa Muara Angke, monyet ekor panjang yang mendiami daerah tersebut mulai berlarian ke jalan raya. Salah satu penyebabnya adalah karena habitatnya yang terus diganggu.

Sedangkan fakta-fakta yang ada di lapangan menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun kuota penangkapan monyet ekor panjang semakin bertambah. Hingga saat ini angka kuota penangkapan yang dikeluarkan oleh pihak kehutanan mencapai 5.100 ekor setiap tahunnya. Jika tidak ada tindakan yang nyata, mungkin beberapa tahun ke depan, generasi mendatang tidak kenal lagi monyet ekor panjang (Asep R Purnama, April 2008).Memang, monyet ini memiliki populasi yang amat banyak di alam, tapi bukan berarti harus ditangkap untuk perdagangan komersial dan sebagainya. Lagipula penangkapan dari alam itu sebenarnya sudah menyalahi aturan yang menyatakan bahwa pengambilan monyet ekor panjang untuk suatu tujuan tertentu harus diambil dari penangkaran. Namun untuk mengupayakan terciptanya UU Konservasi tentang monyet ini tidaklah gampang. Hal yang paling mendesak adalah perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak, bukan hanya dari organisasi non pemerintah (Ornop) atau para peneliti, namun juga harus ada peran aktif dari pihak berwenang (pemerintah) dan juga masyarakat luas. Yang terjadi selama ini adalah bahwa pihak yang memutuskan kebijakan tentang monyet ini belum banyak bahkan tidak melibatkan pihak lain yang kompeten di bidang tersebut. Para peneliti misalnya, tidak pernah dilibatkan untuk memutuskan kebijakan angka kuota penangkapan setiap tahunnya. Jumlah populasi yang dipublikasikan juga tidak akurat, hanya merupakan perkiraan. Padahal, seharusnya para peneliti dilibatkan dalam hal ini, sehingga kebijakan yang dibuat relevan dengan upaya konservasi terhadap monyet ini.

Monyet ekor panjang merupakan salah satu primata Indonesia. Kendati saat ini populasinya di alam masih cukup banyak, namun itu tidak bisa menjadi alasan untuk menangkap mereka dari alam. Jika angka kuota penangkapan tetap bertambah setiap tahunnya, dan UU konservasi monyet ekor panjang belum juga ditegakkan, mungkin nama Macaca fascicularis hanya akan menjadi legenda. Dan kembali lagi, Indonesia akan kehilangan salah satu kekayaan hayatinya.

Orang utan

Lain lagi dengan yang dilakukan oleh Pusat Perlindungan Orangutan (Center for Orangutan Protection, COP) terhadap nasib orang utan yang kian mengenaskan. Beberapa waktu yang lalu, mereka melakukan jumpa pers hingga melakukan demo di Jakarta untuk menyebar-luaskan betapa terancamnya orang utan di Indonesia.

Menurut data dari perluasan lahan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah telah menjadi ancaman serius bagi populasi orang utan di tanah air. Tak hanya habitat asli primata itu yang makin tergusur, orang utan pun dianggAa kematiannya bukan hanya karena kelaparan, tapi juga akibat diburu dan dibunuh karyawan perkebunan.

Meski tak mengungkapkan jumlah orang utan yang mati akibat dibunuh, namun data sejak tahun 2004-2008 memperlihatkan tak kurang dari 11.000 orang utan telah mati. Bahkan, sebuah investigasi lapangan yang dilakukan Center for Orang Utan Protection (COP) menemukan fakta yang mencengangkan. Seluruh orang utan di Sampit tewas setelah PT Globalindo Alam Perkasa menggunduli hutan di kawasan yang merupakan areal konsesi PT Agro Bukit tersebut. Kejadian yang sama memilukannya pun terjadi di areal konsesi PT Bumitama Guna Karya Agro, anak perusahaan IOI Group Malaysia, yang beroperasi di Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kota Waringin Timur. Direktur Eksekutif COP, Hardi Baktiantoro mengungkapkan bahwa orang utan sebenarnya dilindungi oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Tapi Departemen Kehutanan nyaris tidak mampu berbuat apa pun untuk melindungi orang utan yang berada di luar kawasan konservasi. Ketidakberdayaan pemerintah itu mengakibatkan praktik-praktik kejahatan dan kekejaman terhadap orang utan yang berada di luar kawasan konservasi dianggap tidak melanggar hukum. Karena itu, COP pun mendesak pemerintah segera menghentikan pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalten

Tidak ada komentar: